LONCENG KEMATIAN AGAMA
Krisis agama semakin kentara, setahap demi setahap bangunan megah nalar modern dan postmodern menggeser nalar agama ke kolong-kolong jembatan dan kaki-kaki lima. Memang, belakangan ini, terlihat mulai ramainya pengajian-pengajian, padatnya tempat-tempat ibadah, maraknya majelis-majelis zikir, munculnya perdagangan syariah, dan sebagainya yang semuanya membawa simbol agama kepermukaan dari ketenggelamannya selama ini. Namun, ragam seremonial keagamaan itu belum mampu menaikkan citra agama ditengah badai terorisme, korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan terlebih lagi kekerasan dan konplik keagamaan. Ini berarti, “pelecehan terhadap agama” tidak saja dilakukan oleh kalangan anti agama melainkan juga oleh kumpulan umat pecinta agama.
Bagi komunitas anti agama (bahkan anti Tuhan, ateisme), melihat agama tak lain merupakan ekspresi manusia dalam menghadapi kemelut kehidupannya dan kebuntuan nalar mencari jawabnya. Bagi sebagian ahli, Anak diibaratkan kertas kosong (tabularasa) yang tidak memiliki pembawaan apapun termasuk jiwa religius. Mereka memandang manusia sebagai bentuk, bukan secara kejiwaan, dan menganggap bahwa manusia pada awalnya tidaklah beragama. Keberagamaan timbul dikarenakan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya di dunia ini.
Singkatnya, agama bukanlah hal yang asasi dalam diri dan kehidupan manusia, tetapi hanya merupakan suatu yang fungsional dan pragmatis, yang menekankan segi egoistis (ananiyah) manusia yang ingin menjadikan agama sebagai alat bagi kepentingannya sendiri. Pandangan-pandangan seperti ini dapat kita lihat dari tulisan-tulisan yang diajukan oleh Sigmund Frued , Karl Marx, Emile Durkheim , Williem James , dan lain-lainnya.
Bagi Sigmund Freud (1856-1939) sang pendiri psikoanalisis, memandang agama merupakan gangguan pikiran (obsesi/obsession), atau juga sebagai khayalan (illusion) dan pemenuhan keinginan (libido/nafsu) masa kanak-kanak yang terhambat (fiksasi). Libido merupakan energi seksual yang mesti disalurkan agar mendatangkan lust (kenikmatan). Ketegangan libido dan penyalurannya berlangsung terus menerus berdasarkan lustprinzip (asas kelezatan atau mencari nimat). Jika tidak tersalurkan atau terhambat pemuasan penyalurannya, maka akan mendatangkan ketidaksenangan dan kekecewaan (frustrasi) pada diri individu. Teori ini diperkuat Freud dengan mengedepankan kasus Oedipus Complex yang menyukai ibunya, namun terhambat karena keberadaan ayahnya, akhirnya ia membunuh ayahnya demi menyalurkan libidonya yang terpendam. Namun perbuatan itu mendatangkan penyesalan yang pada puncaknya terjadi penyembahan kepada ayahnya. Inilah awal dari munculnya agama.
Keadaan frustrasi ini mengarahkan manusia pada sublimasi yaitu merubah energi seksualnya kepada dimensi lain yang bisa memuaskan atau mengurangi tingkat frustrasinya. Perubahan energi seksual ini dapat mengarah pada dimensi atau energi rasional dan rohani yang menjadi dasar munculnya agama.
Secara sosial, Emile Durkheim, dedengkot sosiologi agama berkesimpulan bahwa keyakinan agama merupakan sistem sosial yang diciptakan masyarakat, atau agama sebagai ciptaan manusia yang berkoloni. Agama yang diciptakan itu dimanfaatkan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan kehidupan bersama dalam kelompok atau masyarakatnya.
Merujuk pada analaisis Huston Smith dalam Why Religion Matters, dalam memasuki abad modern, mulai terjadi pembunuhan pada agama. Hal itu dilakukan oleh dua raksasa yang berkuasa, yaitu kekuasaan politik (politikisme) dan kekuasaan sains (saintisme) yang tersimpul dalam satu ideologi modern yakni sekularisme.
Sains— dalam balutan sekularisme berubah menjadi saintisme— berdiri atas nama metode ilmiah, yang menggantikan posisi wahyu sebagai jalan menuju pengetahuan. Secara konseptual, itu membentuk pandangan dunia ilmiah, sementara teknologinya membentuk dunia modern. Sebagai akibatnya, agama dipinggirkan, baik secara intelektual maupun politik. Sedangkan secara politik—yang dalam balutan sekularisme menjadi politikisme—, transportasi dan perpindahan penduduk yang lebih mudah memperkenalkan gejala baru dalam sejarah : pluralisme kultural. Hasilnya adalah penyingkiran agama dari kehidupan publik karena agama membeda-bedakan, sementara politik justru mau mengupayakan landasan bersama yang dapat menengahi perbedaan-perbedaan warganya. Sedangkan secara intelektual, sains tidak mempunyai tempat bagi wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan ketika kaum modernis semakin cenderung berpikir dengan sains dalam soal-soal kebenaran, kepercayaan kepada wahyu semakin hilang
Memang, tidak semua ahli sinis terhadap agama, namun loncengl telah dibunyikan komunitas anti agama untuk memberi tanda istirahatnya agama dari perjuangan panjangnya. Meskipun usaha mereka belum mampu menyingkirkan agama, namun setidaknya berhasil membatasi ruang gerak agama untuk bermain hanya dilokasi individunya, tempat tingalnya, atau rumah ibadahnya. Selebihnya, lokasi terlarang untuk agama……utk itu kita menunggu pencerahannya dari kawan2 semua…. wallahu a’lam
Share
Category: Artikel Islam
0 komentar